Prasasti Padlegan II di Museum Wajakensis Tulungagung

CIMG3146(FILEminimizer)
Prasasti Padlegan II di Museum Wajakensis Tulungagung

“Ini kita ke mana dulu?”

“Waktu jalan jalan kami cuma tiga jam.”

“Pak Siwi Sang punya ide?”

“Kita ke Museum dulu. Museum Wajakensis Tulungagung. Selanjutnya ke candi Boyolangu atau Candi Gayatri. Dari sana kita dapat ke candi Sanggrahan atau Goa Selomangleng. Jika cukup waktu, kita menuju situs Goa Pasir. Lalu pulang.”

Kami berembug sebelum mobil tancap gas. Setelah semua sepakat, kami segera berangkat dari arah Ponpes Al Azhaar Tulungagung menuju Museum Wajakensis Tulungagung yang terletak di selatan kota sejauh sekitar 4 km saja. Kami berangkat jam 08.15. Sekitar seperempat menit kemudian kami tiba di Museum.

DSC07614.JPG

Sabtu pagi, 7/5/2016. Museum Wajakensis Tulungagung pagi itu sepi. Tidak ada orang di pos penjaga. Hanya terlihat tiga orang tukang bangunan sedang bekerja mengecat dinding Museum. Pintu museum tutup terkunci.

“Pak Andi belum datang?” tanya saya kepada seorang tukang bangunan. Pak Andi adalah salah seorang petugas museum. Dalam pikiran saya, museum pagi itu buka seperti hari biasa dan pak Andi tugas jaga.

“Belum datang mas.”

Kami berembug, apakah melanjutkan perjalanan menuju candi Boyolangu ataukah sementara di Museum. Kami memutuskan sementara waktu di museum melihat lihat koleksi di luar museum berupa jejeran 5 batu prasasti dan benda benda lainnya.

Sembari melihat lihat, Tjut Zakiyah Anshari atau Bunda Zakyzahra Tuga menghubungi pak Haryadi pengelola Museum Wajakensis Tulungagung.

“Pak Haryadi ternyata sedang kurang sehat dan sedang periksa ke dokter. Jadi tidak dapat ke museum,” kata Bunda Zakyzahra Tuga setelah menutup telepun.

Saya pernah mendapat pesan dari pak Haryadi, jika ada tamu dari luar daerah yang ingin ke museum tapi museum tutup, supaya menghubungi beliau. Jika tidak sedang ada kegiatan penting, pak Haryadi bersedia membuka museum sebagai bentuk pelayanan di luar jam buka.

Tapi pak Haryadi pagi itu sedang berhalangan. Ahirnya kami tidak berkesempatan melihat lihat koleksi di dalam ruangan museum Wajakensis Tulungagung. Ruangan yang sempit dengan koleksi melimpah. Kami sementara bertahan melihat lihat koleksi di luar saja. Kami ke pojok barat laut melihat batu prasasti Padlegan II.

Prasasti Padlegan II merupakan salah satu koleksi Museum Wajakensis yang selama ini, menurut pak Haryadi, kerap dikunjungi para peneliti termasuk dari Universitas Indonesia. Prasasti ini masih terbaca meski ada sebagian yang sudah aus. Prasasti Padlegan II bertarikh 1081C/ 1159M. Prasasti Padlegan II belum banyak dikaji terutama para sejarawan Tulungagung. Padahal ini merupakan prasasti yang cukup penting bagi sejarah Tulungagung.

Saya pernah membaca transkrip asli Prasasti Padlegan II. Saya juga sudah menuliskannya sekilas di www.siwisangnusantara.web.id. Karena itu saya sedikit ingat dan dapat menjelaskan sekilas ketika mbak Alief dan mbak Intan bertanya soal Prasasti Padlegan II.

Saya sempat keliru mengatakan Prasasti Padlegan II dikeluarkan raja Sri Bameswara. Yang betul Sri Sarweswara. Dua nama maharaja Panjalu Kediri ini memang hampir sama. Ketika membahas sejarah, nama nama pararaja sangat penting. Jangan sampai keliru. Tapi kalau keliru ya segera diperbaiki.

Prasasti Padlegan II 1081C/1159M dikeluarkan oleh maharaja Panjalu Kediri Sri Sarweswara. Berisi anugerah tambahan atau Pamuwuh dari Sri Sarweswara kepada penduduk Padlegan. Jauh sebelumnya, daerah Padlegan sudah ditetapkan sebagai desa Sima Perdikan yang memiliki beberapa hak istimewa di kerajaan Panjalu Kediri. Pada tahun 1038C/1116M, daerah Padlegan pernah mendapat anugerah dari seorang maharaja Panjalu Kediri yaitu Sri Bameswara. Prasasti yang dikeluarkan Sri Bameswara untuk wilayah Padlegan dikenal sebagai Prasasti Padlegan I. Sedang yang dikeluarkan maharaja Sri Sarwesswara dikenal sebagai Prasasti Padlegan II.

Pada waktu penemuan di jaman kolonial Belanda, Prasasti Padlegan II dilaporkan berada di desa Pinggirsari distrik Tulungagung. Sekarang desa Pinggirsari berada di kecamatan Ngantru, Tulungagung. Karena itu, menurut saya, Prasasti Padlegan II sangat berkaitan dengan sejarah local Tulungagung, dapat menjadi bahan memperkaya kesejarahan Tulungagung. Dalam Prasasti Padlegan II menyebutkan nama nama daerah yang sama dengan yang tercantum dalam Prasasti Padlegan I.

Saya dan Bunda Zakyzahra Tuga juga cerita kalau di Tulungagung sangat banyak situs dan peninggalan sejarah. Kami berdua sempat menyinggung soal Prasasti Lawadan yang penanggalannya menjadi landasan penentuan Hari Jadi Tulungagung.

Dari selasar atau emperan, kami sempatkan mengintipi aneka koleksi di dalam ruangan Museum Wajakensis Tulungagung. Sekali lagi, ruangan museum terlalu sempit untuk menampung kekayaan Cagar Budaya Tulungagung. Pemerintah daerah harus secepatnya memertimbangkan pembangunan Museum Tulungagung yang lebih luas, lebih megah, ada perpustakaannya, dan tentu saja harus ada tempat untuk ngopi.

Kami berada di Museum Wajakensis Tulungagung sekitar 25 menit saja. Kami potrat potret di sana. Sebelum meninggalkan lokasi, kami berempat melakukan satu upacara kusus, narsis poto dengan latar belakang tulisan Museum Wajakensis Tulungagung.

Selanjutnya tempat kedua yang kami kunjungi adalah candi Boyolangu di dusun Dadapan desa Boyolangu kecamatan Boyolangu Tulungagung. Terletak di arah selatan Museum Wajakensis Tulungagung sekitar 6 km.

Mobil carteran yang kami tumpaki melaju mulus di atas jalan mulus.

Di tepi jalan raya Boyolangu atau sebelum perempatan pasar Boyolangu, terdapat pintu gerbang di barat atau kanan jalan bertuliskan CANDI GAYATRI.

BERSAMBUNG

[SIWI SANG]

Tulisan sudah unggah di www.bloggertulungagung.com

PADRAO Sebagai Tanda Hubungan Antara Sunda Pajajaran Dengan Portugis

PADRAO

Di museum Sri Baduga Bandung Jawa Barat terdapat satu koleksi menarik berupa tugu batu setinggi 165 cm bergambar lambang kerajaan Portugis. Tugu batu ini bernama PADRAO.

PADRAO koleksi museum Sri Baduga merupakan tanda jejak perjanjian antara kerajaan Sunda sebagai penguasa pelabuhan Sunda Kelapa dengan armada dagang Portugis di Malaka pimpinan Enrique Leme yang membawa barang barang untuk raja Samiam atau Sang Hyang Surawisesa, raja Sunda yang memerintah tahun 1521M-1535M.

Kunjungan Enrique Leme ke kerajaan Sunda menghasilkan perjanjian politik antara dua kerajaan itu yang ditandatangani tanggal 22 agustus 1522M.

PADRAO ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun kantor dagang kerajaan Portugis.

Bagian atas batu PADRAO tersebut terdapat Armillary Sphere atau rangka bola langit dengan garis katulistiwa dan lima garis lintang. Paling atas tampak gambar tiga daun yakni Trifoli dan terdapat pula empat garis inskripsi yakni

  1. SALIB ORDO CRISTUS
  2. DISPOR singkatan dari Do Senhario de Portugal yang artinya penguasa dari portugal.

  3. ESFER /’M’ yakni Esfera do Mundo atau Kawasan Dunia.

  4. Garis keempat nampaknya menyerupai salib seperti garis pertama namun tidak jelas.

PADRAO ini nomor inventaris  04.968

PADRAO koleksi museum Sri Baduga ditempatkan berjejer dengan tiga koleksi lain yaitu prasasti Kawali I, VI, V.

PADRAO di Museum Sri Baduga Bandung merupakan replika dari PADRAO asli yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

348px-Padrao_sunda_kelapa
PADRAO aslinya di Museum Nasional jakarta. sumber poto :SUMBER POTO

SIWI SANG

Sumber tulisan ini dari diskripsi PADRAO di museum Sri Baduga.